Oleh : Donna Resfina Ulfa
Siang itu, langit biru, pada ujung barat awan membumbung
tinggi, bagian langit lainnya bersih. Matahari bersinar sepanjang hari. Pada
salah satu pondok di ladang anggur itu, dua pasang kaki kecil berayun sambil
melahap anggur berwarna keunguan.
“Tuan Putri, those,
the red one is mine!” Ken kecil menunjuk ke arah pohon anggur yang buahnya
menggantung, bentuk buahnya bulat sempurna, besar-besar, dan pasti rasanya
manis. Ia membayangkan melahap buah itu saat Opa memanennya nanti.
“Kalau punyamu yang itu, yang lain punyaku, semuanya.”
Gadis kecil seusianya merentangkan tangan lalu mendekap seolah-seolah ia
memeluk semua anggur di sana. Dia tersenyum.
“How could? Nggak
bisa begitu!”
“Kenapa, nggak?” Gadis kecil itu turun, “bisa aja!” Sunny
berlari sambil tertawa riang, senang berhasil menjahili sahabatnya. Sedang Ken
langsung cemberut, lalu mereka kejar-kejaran.
Siang itu, langit cerah, matahari bersinar sepanjang hari
pada musim panas dengan tawa kanak-kanak yang menguap di antara ladang anggur.
Semua tampak seperti rekaman video polaroid yang diputar di sebuah tempat yang
disebut memori. Ken dewasa membuka matanya, perlahan, sudut-sudut matanya
basah.
***
Ken Adhitia
Malam yang sepi di Virginia di awal musim panas tahun
1995, udara sedikit hangat, lolongan anjing terdengar dari kejauhan. Ketika
semua sudah tidur, aku masih terjaga, seperti biasa. Menyalakan komputer,
membuka email, mengecek apakah ada
pesan untukku.
March 03, 1995 : 11.04 pm
from : sunnypraditha10@yahoo.com
<sunny> Ken aku jadi ikut Summer Study
Abroad di Amerika.
Jam menunjukkan pukul dua malam. Ketika Mom dan Dad sudah
tidur, aku bisa dengan leluasa mengecek email
tanpa harus ketahuan. Aku mengeklik tombol reply.
Lalu mulai mengetik.
March 04, 1995 : 2.09 am
from : ken_adhitia@yahoo.com
<ken> great to know it. ini akan jadi
musim panas terbaik di tahun ini. sebentar lagi panen. pabrik wine Opa akan
kembali dibuka. aku akan membawamu berkeliling di ladang.
Aku masih menunggu balasan dari Sunny, menyandarkan
punggungku ke kursi, meminum coke, komputer
kubiarkan begitu saja hingga layarnya mati, aku mendapati diriku tertidur di
depannya, lalu kugeser-geser mouse-nya
dan layarnya menyala lagi. Pukul empat pagi. Aku kembali mengecek email.
Tuan Putri membalas,
batinku.
<sunny> benarkah?
<ken> sure, kamu mampir, kan? :)
<sunny> i’m not expecting too much.
Aku baru akan segera membalas email itu ketika terdengar suara gaduh dari bawah. Dad sudah
bangun. Pagi hari ketika musim panas sudah dimulai biasanya matahari terbit
lebih awal, Dad pekerja keras, pergi ke ladang anggur pagi-pagi buta, lalu Mom
akan menyusulnya ketika jam makan siang, membawa makanan.
Kami hijrah dari Indonesia ke Virginia ketika umurku lima
tahun, kala itu memutuskan untuk mengelola ladang anggur milik kakekku yang
biasa kupanggil Opa, hampir setiap hari aku pergi ke sana. Kadang untuk sekadar
bermain air yang akan menyala otomatis tiga kali sehari untuk menyiram
pohon-pohon anggur, kadang ikut membersihkan daun-daun yang gugur, atau
diam-diam mengambil buah anggur meski masih hijau.
Aku terpaksa mematikan komputer, memutuskan untuk
membalas email dari Sunny malam
berikutnya. Aku turun ke bawah, membantu Dad menyiapkan peralatan kebun,
meletakkannya di bagian belakang mobil pick-up
tua merah kepunyaan Opa. Dad akan pergi ke ladang dengan mobil itu. Begitu
saja. Tak ada sapaan hangat, ucapan selamat pagi, atau sampai jumpa. Semuanya
sudah berubah, Dad yang ramah, yang punya mata teduh, tidak ada lagi semua itu,
sepeninggal Opa dua tahun lalu.
***
Sunny Praditha
Aku tidak mengharapkannya. Atau katakanlah aku tidak
terlalu berharap. Sungguh. Menjadi saudaranya, aku hanya anak yatim piatu yang
baru saja kehilangan kedua orang tuaku karena kecelakaan tragis. Menyisakan
trauma fisik dan psikis padaku. Kakek lima puluh tahunan, Opa, kala itu
memergoki aku yang sedang menangis di lorong rumah sakit—mengangkatku menjadi
cucunya ketika aku berusia lima tahun. Ia punya satu cucu tunggal dari anak
perempuannya yang juga tunggal.
Virginia, 1981, belahan bumi lain yang tidak pernah
kudengar namanya. Opa membawaku sejauh itu bersama keluarga kecilnya. Ia punya
ladang anggur yang luas. Aku suka ladang itu. Aku dan Ken biasa ke sana,
menemani Opa.
Aku tahu, kehadiranku tidak benar-benar diterima oleh Mom
dan Dad-nya Ken, tapi aku bisa apa? Aku menahan semuanya, segala kesedihan yang
aku dapatkan dari orang tua Ken. Tapi, aku selalu bahagia ketika bersama Opa. Kebahagiaan
itu hanya bertahan dua setengah tahun. Hingga, semuanya mungkin tidak bisa lagi
dibendung. Segala murka.
Dia yatim piatu,
asal-usul keluarganya tidak jelas, dia juga sakit-sakitan, dia tidak bisa
tinggal bersama kita, Ayah. Kembalikan dia ke Indonesia. Atau kami yang kembali!
Seperti itu, selalu seperti itu. Tapi, itu memang benar.
Aku mengalami cedera di paru-paruku akibat kecelakaan itu sehingga setiap bulan
aku harus pergi untuk pemeriksaan di rumah sakit. Itu sangat merepotkan. Opa
tak kuasa, memilihku atau anak, menantu, dan cucu kandungnya. Aku kalah. Saat
itu, aku dikirim kembali ke Indonesia, tapi aku tetap disekolahkan dengan baik
hingga saat ini aku bisa berada di Perguruan Tinggi.
Aku tidak pernah kembali lagi ke Virginia tapi aku selalu
mendapatkan foto-foto ladang, buah anggur, pabrik wine, tidak ketinggalan foto Opa, foto pantai kala musim panas, aku
suka musim panas. Membayangkannya saja aku bahagia.
Aku dan Ken tetap menjaga komunikasi lewat email. Meski kucing-kucingan dari Mom
dan Dad-nya. Tapi sudah dua tahun, sejak aku di Perguruan Tinggi, aku tidak
pernah dikirimkan lagi foto Opa, Ken bilang Opa tidak mau lagi difoto karena ia
malu dengan keriputnya. Itu konyol, Opa tetap tampan meskipun sudah tua, ia
tidak pernah se-minder itu.
Siang itu, aku mendapatkan kabar bahwa aku lulus menjadi
salah satu mahasiswa yang bisa ikut student
exchange tahun ini. Aku akan berangkat ke Virginia. Aku ingin ke sana,
entah mengapa. Rasanya, segala kenangan itu terus memanggilku. Kembalilah. Bisikan-bisikan yang terus
mengusik. Mungkin, aku rindu. Rasa yang telah bersemayam begitu lama di dadaku
yang sering sesak.
Hingga, segalanya menjadi semakin sesak, ketika
kepingan-kepingan puzzle itu kembali
hadir. Semua gambar yang bersatu seperti terputar kembali dari gulungan pita
film dan berakhir seperti efek pixelate.
***