Kamis, 26 Maret 2015

Summer 1995


            Oleh : Donna Resfina Ulfa

Siang itu, langit biru, pada ujung barat awan membumbung tinggi, bagian langit lainnya bersih. Matahari bersinar sepanjang hari. Pada salah satu pondok di ladang anggur itu, dua pasang kaki kecil berayun sambil melahap anggur berwarna keunguan.
            “Tuan Putri, those, the red one is mine!” Ken kecil menunjuk ke arah pohon anggur yang buahnya menggantung, bentuk buahnya bulat sempurna, besar-besar, dan pasti rasanya manis. Ia membayangkan melahap buah itu saat Opa memanennya nanti.
            “Kalau punyamu yang itu, yang lain punyaku, semuanya.” Gadis kecil seusianya merentangkan tangan lalu mendekap seolah-seolah ia memeluk semua anggur di sana. Dia tersenyum.
            “How could? Nggak bisa begitu!”
            “Kenapa, nggak?” Gadis kecil itu turun, “bisa aja!” Sunny berlari sambil tertawa riang, senang berhasil menjahili sahabatnya. Sedang Ken langsung cemberut, lalu mereka kejar-kejaran.
            Siang itu, langit cerah, matahari bersinar sepanjang hari pada musim panas dengan tawa kanak-kanak yang menguap di antara ladang anggur. Semua tampak seperti rekaman video polaroid yang diputar di sebuah tempat yang disebut memori. Ken dewasa membuka matanya, perlahan, sudut-sudut matanya basah.
***
Ken Adhitia   
            Malam yang sepi di Virginia di awal musim panas tahun 1995, udara sedikit hangat, lolongan anjing terdengar dari kejauhan. Ketika semua sudah tidur, aku masih terjaga, seperti biasa. Menyalakan komputer, membuka email, mengecek apakah ada pesan untukku.
March 03, 1995 : 11.04 pm
from : sunnypraditha10@yahoo.com
<sunny> Ken aku jadi ikut Summer Study Abroad di Amerika.
            Jam menunjukkan pukul dua malam. Ketika Mom dan Dad sudah tidur, aku bisa dengan leluasa mengecek email tanpa harus ketahuan. Aku mengeklik tombol reply. Lalu mulai mengetik.
March 04, 1995 : 2.09 am
from : ken_adhitia@yahoo.com
<ken> great to know it. ini akan jadi musim panas terbaik di tahun ini. sebentar lagi panen. pabrik wine Opa akan kembali dibuka. aku akan membawamu berkeliling di ladang.
            Aku masih menunggu balasan dari Sunny, menyandarkan punggungku ke kursi, meminum coke, komputer kubiarkan begitu saja hingga layarnya mati, aku mendapati diriku tertidur di depannya, lalu kugeser-geser mouse-nya dan layarnya menyala lagi. Pukul empat pagi. Aku kembali mengecek email.
            Tuan Putri membalas, batinku.
<sunny> benarkah?
<ken> sure, kamu mampir, kan? :)
<sunny> i’m not expecting too much.
            Aku baru akan segera membalas email itu ketika terdengar suara gaduh dari bawah. Dad sudah bangun. Pagi hari ketika musim panas sudah dimulai biasanya matahari terbit lebih awal, Dad pekerja keras, pergi ke ladang anggur pagi-pagi buta, lalu Mom akan menyusulnya ketika jam makan siang, membawa makanan.
            Kami hijrah dari Indonesia ke Virginia ketika umurku lima tahun, kala itu memutuskan untuk mengelola ladang anggur milik kakekku yang biasa kupanggil Opa, hampir setiap hari aku pergi ke sana. Kadang untuk sekadar bermain air yang akan menyala otomatis tiga kali sehari untuk menyiram pohon-pohon anggur, kadang ikut membersihkan daun-daun yang gugur, atau diam-diam mengambil buah anggur meski masih hijau.
            Aku terpaksa mematikan komputer, memutuskan untuk membalas email dari Sunny malam berikutnya. Aku turun ke bawah, membantu Dad menyiapkan peralatan kebun, meletakkannya di bagian belakang mobil pick-up tua merah kepunyaan Opa. Dad akan pergi ke ladang dengan mobil itu. Begitu saja. Tak ada sapaan hangat, ucapan selamat pagi, atau sampai jumpa. Semuanya sudah berubah, Dad yang ramah, yang punya mata teduh, tidak ada lagi semua itu, sepeninggal Opa dua tahun lalu.
***
Sunny Praditha
            Aku tidak mengharapkannya. Atau katakanlah aku tidak terlalu berharap. Sungguh. Menjadi saudaranya, aku hanya anak yatim piatu yang baru saja kehilangan kedua orang tuaku karena kecelakaan tragis. Menyisakan trauma fisik dan psikis padaku. Kakek lima puluh tahunan, Opa, kala itu memergoki aku yang sedang menangis di lorong rumah sakit—mengangkatku menjadi cucunya ketika aku berusia lima tahun. Ia punya satu cucu tunggal dari anak perempuannya yang juga tunggal.
            Virginia, 1981, belahan bumi lain yang tidak pernah kudengar namanya. Opa membawaku sejauh itu bersama keluarga kecilnya. Ia punya ladang anggur yang luas. Aku suka ladang itu. Aku dan Ken biasa ke sana, menemani Opa.
            Aku tahu, kehadiranku tidak benar-benar diterima oleh Mom dan Dad-nya Ken, tapi aku bisa apa? Aku menahan semuanya, segala kesedihan yang aku dapatkan dari orang tua Ken. Tapi, aku selalu bahagia ketika bersama Opa. Kebahagiaan itu hanya bertahan dua setengah tahun. Hingga, semuanya mungkin tidak bisa lagi dibendung. Segala murka.
            Dia yatim piatu, asal-usul keluarganya tidak jelas, dia juga sakit-sakitan, dia tidak bisa tinggal bersama kita, Ayah. Kembalikan dia ke Indonesia. Atau kami yang kembali!
            Seperti itu, selalu seperti itu. Tapi, itu memang benar. Aku mengalami cedera di paru-paruku akibat kecelakaan itu sehingga setiap bulan aku harus pergi untuk pemeriksaan di rumah sakit. Itu sangat merepotkan. Opa tak kuasa, memilihku atau anak, menantu, dan cucu kandungnya. Aku kalah. Saat itu, aku dikirim kembali ke Indonesia, tapi aku tetap disekolahkan dengan baik hingga saat ini aku bisa berada di Perguruan Tinggi.
            Aku tidak pernah kembali lagi ke Virginia tapi aku selalu mendapatkan foto-foto ladang, buah anggur, pabrik wine, tidak ketinggalan foto Opa, foto pantai kala musim panas, aku suka musim panas. Membayangkannya saja aku bahagia.
            Aku dan Ken tetap menjaga komunikasi lewat email. Meski kucing-kucingan dari Mom dan Dad-nya. Tapi sudah dua tahun, sejak aku di Perguruan Tinggi, aku tidak pernah dikirimkan lagi foto Opa, Ken bilang Opa tidak mau lagi difoto karena ia malu dengan keriputnya. Itu konyol, Opa tetap tampan meskipun sudah tua, ia tidak pernah se-minder itu.
            Siang itu, aku mendapatkan kabar bahwa aku lulus menjadi salah satu mahasiswa yang bisa ikut student exchange tahun ini. Aku akan berangkat ke Virginia. Aku ingin ke sana, entah mengapa. Rasanya, segala kenangan itu terus memanggilku. Kembalilah. Bisikan-bisikan yang terus mengusik. Mungkin, aku rindu. Rasa yang telah bersemayam begitu lama di dadaku yang sering sesak.
            Hingga, segalanya menjadi semakin sesak, ketika kepingan-kepingan puzzle itu kembali hadir. Semua gambar yang bersatu seperti terputar kembali dari gulungan pita film dan berakhir seperti efek pixelate.
***
Baca selengkapnya di Summer 1995

2 komentar: